Opini: Derek Manangka&Muchlis Hasyim
NILAH.COM, Jakarta - Kiblat Indonesia ke Amerika Serikat (AS) dan keterlibatan LSM negara adi daya itu dalam amandemen UUD'45, secara garis besar disinggung di seri tulisan sebelumnya. Kami berpendapat peran seperti itu tidak harus dilihat dari perspektif negatif.
Sebab sudah ada contoh lain. AS, pada 1945, juga melakukan hal yang serupa. AS mengubah sistem politik Jepang. Nasionalisme Jepang, direvisi AS. Hasilnya, Jepang menjadi sebuah negara industri dan bahkan menyamai keunggulan ekonomi AS.
Campur tangan AS dalam mengatur Jepang, memang tidak terjadi begitu saja. Melainkan diawali sebuah cerita panjang. Kedua negara terlibat dalam Perang Pasifik (1941-1945). Jepang terlebih dahulu membuat ulah, dengan melakukan pemboman atas pangkalan angkatan laut AS di Pearl Habor, Hawaii, 1941.
Empat tahun kemudian, Agustus 1945, AS membalas dengan menjatuhkan dua buah bom nuklir (atom) di Hiroshima dan Nagasaki. Jepang mengaku kalah. Pengakuan kekalahan oleh Jepang diikuti persetujuan untuk mengubah sistem politiknya sesuai keinginan AS. Kaisar atau raja Jepang misalnya, tidak lagi punya peran dalam pemerintahan. Kaisar hanya sebagai simbol negara.
Jepang juga tidak boleh mengembangkan kekuatan militernya. Sedangkan AS dibolehkan memiliki pangkalan militernya di Jepang. AS mencegah Jepang membangun kekuatan militernya, sebab selama Perang Pasifik, Jepang mampu mengerahkan ratusan ribu tentaranya ke hampir semua negara di Asia. Mulai dari Korea, China, Indochina, Asia Tenggara sampai ke Papua Nugini.
Yang menjadi konseptor dari semua penyerahan Jepang adalah Jenderal Doughlas MacArthur, panglima tentara AS di Pasifik. Sejak pengakuan kekalahan itu, Jepang hanya berkonsentrasi pada pembangunan ekonominya.
Sikap takluk bangsa Jepang ini di luar dugaan membuat negeri Sakura itu dalam waktu yang relatif singkat sudah menjadi salah satu kekuatan ekonomi di dunia. Jepang bangkit dari keterpurukan setelah semua kekuatannya digunakan untuk membiayai ekspansi militernya di Asia.
Kurang dari tiga dekade pada 1970 saja, Jepang sudah menjadi produsen dan eksportir berbagai komoditi, yang tadinya hanya didominasi oleh AS ataupun Inggris. Rahasia sukses Jepang terletak pada sikapnya yang mengalah untuk menang. Jepang mengalah kepada AS dengan tidak mengembangkan kekuatan militernya.
Namun dengan cara itu, Jepang melakukan penghematan secara besar-besaran anggaran pertahanan. Jepang juga menjadi seperti seorang boss yang pada malam hari bisa tidur nyenyak di dalam rumahnya, karena keamanan lingkungan dijaga 24 jam, oleh satpam yang terlatih yaitu tentara AS.
Jepang bukan Indonesia. Dan keberhasilan Jepang, tidak lepas dari budaya kerjanya yang tidak mau separuh-separuh. Namun melihat hubungan AS dan Indonesia yang tidak pernah terlibat dalam perang, mestinya sebuah sinerji yang lebih kuat dapat lebih mudah dilakukan.
Selain itu sejak Indonesia masih dijajah Jepang, AS sudah punya niat membantu, membebaskan Indonesia dari jajahan Jepang. Sehingga Indonesia-AS sebetulnya sejak awal sudah memiliki modal yang kuat untuk membangun sebuah ikatan atau bonding.
Tetapi jika kita cermati, hubungan Indonesia-AS tidak bisa berkembang terlalu jauh karena Indonesia terlanjur memasang penghalang. Bentuk penghalang itu berupa nasionalisme, yang tidak terlihat namun sangat kuat resistensinya. Sehingga kalau mau, penghalang itu harus disingkirkan.
Para tokoh pejuang terdahulu selalu menyatakan kemerdekaan Indonesia diperoleh melalui nasionalisme yang tinggi. Pengorbanan jiwa dan raga merupakan bagian dari nasionalisme. Dengan nasionalisme yang kuat, sekalipun hanya bersenjatakan bambu runcing, pejuang Indonesia mampu mengusir penjajah.
Ada benarnya. Namun ada faktor lain yaitu peristiwa koinsidental berupa kekalahan Jepang atas AS dalam Perang Pasifik. Dimana Jepang harus angkat kaki dari seluruh Asia, sebagai prasyarat AS untuk tidak menjatuhkan bom atom lebih banyak lagi di kota-kota Jepang. Sehingga Jepang ketika itu menjadi lemah.
Karena adanya penonjolan nasionalisme secara berlebihan, ketika AS ingin berperan besar di Indonesia, kita pun berusaha menekannya. Kita melihat AS sebagai mahluk penjajah dalam wajah baru. AS misalnya ingin membangun pangkalan militer di Indonesia. Kita pun melihat hal tersebut mengurangi kedaulatan bangsa. Kita berdalih, sebagai negara netral, non blok pangkalan AS, Blok Barat, tidak dimungkinkan hadir di Indinesia.
AS yang sistem ekonominya mengikuti pola negara-negara kapitalis, kita tempatkan sebagai negara penjajah. Kekhawatiran atas kemungkinan kembalinya penjajah dalam bentuk ekonomi dan investasi yang direpresentasikan oleh AS, kita besar-besarkan.
Kita tolak AS, namun kita terima segala bentuk penjajahan baru oleh Jepang melalui mobil sepeda motor, mall, budaya makan, olahraga karate dan terakhir karaoke. Nasionalisme kita menghadapi Jepang, tiba-tiba hilang.
Kita tidak sadar, kebijaksanaan dalam berbagai bidang, menjadi serba tanggung, rancu. Bagaikan gadis cantik, kita terlalu selektif di dalam memilih pria yang ingin mendekat.
Di era Orde Baru, Soeharto merekrut para pembantunya dengan latar belakang pendidikan paling banyak berasal dari AS. Tetapi untuk IGGI, forum yang mengatur investasi dan bantuan ke Indonesia, kita percayakan kepada Belanda, yang nota bene sebagai bekas penjajah.
Demikian pula di bidang kerja sama bilateral. Kita justru lebih membuka keran selebar-lebarnya kepada Jepang ketimbang AS. Kita lupakan luka-luka bekas peninggalan Jepang sebagai penjajah kejam di Indonesia selama 1942 -1945.
Kita besarkan citra AS yang suka menaklukan dunia dengan bom nuklirnya tanpa mengakui negara tersebut, sebetulnya tidak pernah mempersulit apalagi menjadi penjajah Indonesia. Kita tidak pernah berani menjadi negara satelitnya AS. Karena konotasi negara satelit itu, sangat negatif. Bertentangan dengan martabat dan nasionalisme.
Padahal untuk menjadi satelit, terbuka lebar untuk negosiasi. Kita tidak berani melakukan negosiasi dengan AS - berdasarkan konsep win-win solution. Padahal bukan mustahil negara adidaya inipun bersedia menerima dan memberi konsesi. Pejabat kita hanya berani melakukan negosiasi atas kepentingan individu, bukan kepentingan nasional.
Semua pihak mengakui bahwa Indonesia kaya akan sumber daya alam. Tetapi semua kalangan juga sadar sumber daya alam itu hanya mungkin bisa kita ambil dan nikmati, apabila kita memiliki teknologi. Sayangnya yang terakhir ini, tidak kita miliki. Kita tahu yang punya teknologi itu antara lain AS. Lantas mengapa tidak dilakukan negosiasi?
Kalau Jepang saja yang sudah kalah masih mau lebih mengalah dan bahkan menerima didikte, mengapa kita tidak belajar dari Jepang? Kalau kaisar Jepang yang sudah terkenal keksatriannya saja bersedia memberi konsesi, mengapa ‘raja’ Indonesia, tidak ada yang berani? Yang terpenting mengalah untuk menang. Bukan bertahan tapi tidak pernah menang.
http://inilah.com
NILAH.COM, Jakarta - Kiblat Indonesia ke Amerika Serikat (AS) dan keterlibatan LSM negara adi daya itu dalam amandemen UUD'45, secara garis besar disinggung di seri tulisan sebelumnya. Kami berpendapat peran seperti itu tidak harus dilihat dari perspektif negatif.
Sebab sudah ada contoh lain. AS, pada 1945, juga melakukan hal yang serupa. AS mengubah sistem politik Jepang. Nasionalisme Jepang, direvisi AS. Hasilnya, Jepang menjadi sebuah negara industri dan bahkan menyamai keunggulan ekonomi AS.
Campur tangan AS dalam mengatur Jepang, memang tidak terjadi begitu saja. Melainkan diawali sebuah cerita panjang. Kedua negara terlibat dalam Perang Pasifik (1941-1945). Jepang terlebih dahulu membuat ulah, dengan melakukan pemboman atas pangkalan angkatan laut AS di Pearl Habor, Hawaii, 1941.
Empat tahun kemudian, Agustus 1945, AS membalas dengan menjatuhkan dua buah bom nuklir (atom) di Hiroshima dan Nagasaki. Jepang mengaku kalah. Pengakuan kekalahan oleh Jepang diikuti persetujuan untuk mengubah sistem politiknya sesuai keinginan AS. Kaisar atau raja Jepang misalnya, tidak lagi punya peran dalam pemerintahan. Kaisar hanya sebagai simbol negara.
Jepang juga tidak boleh mengembangkan kekuatan militernya. Sedangkan AS dibolehkan memiliki pangkalan militernya di Jepang. AS mencegah Jepang membangun kekuatan militernya, sebab selama Perang Pasifik, Jepang mampu mengerahkan ratusan ribu tentaranya ke hampir semua negara di Asia. Mulai dari Korea, China, Indochina, Asia Tenggara sampai ke Papua Nugini.
Yang menjadi konseptor dari semua penyerahan Jepang adalah Jenderal Doughlas MacArthur, panglima tentara AS di Pasifik. Sejak pengakuan kekalahan itu, Jepang hanya berkonsentrasi pada pembangunan ekonominya.
Sikap takluk bangsa Jepang ini di luar dugaan membuat negeri Sakura itu dalam waktu yang relatif singkat sudah menjadi salah satu kekuatan ekonomi di dunia. Jepang bangkit dari keterpurukan setelah semua kekuatannya digunakan untuk membiayai ekspansi militernya di Asia.
Kurang dari tiga dekade pada 1970 saja, Jepang sudah menjadi produsen dan eksportir berbagai komoditi, yang tadinya hanya didominasi oleh AS ataupun Inggris. Rahasia sukses Jepang terletak pada sikapnya yang mengalah untuk menang. Jepang mengalah kepada AS dengan tidak mengembangkan kekuatan militernya.
Namun dengan cara itu, Jepang melakukan penghematan secara besar-besaran anggaran pertahanan. Jepang juga menjadi seperti seorang boss yang pada malam hari bisa tidur nyenyak di dalam rumahnya, karena keamanan lingkungan dijaga 24 jam, oleh satpam yang terlatih yaitu tentara AS.
Jepang bukan Indonesia. Dan keberhasilan Jepang, tidak lepas dari budaya kerjanya yang tidak mau separuh-separuh. Namun melihat hubungan AS dan Indonesia yang tidak pernah terlibat dalam perang, mestinya sebuah sinerji yang lebih kuat dapat lebih mudah dilakukan.
Selain itu sejak Indonesia masih dijajah Jepang, AS sudah punya niat membantu, membebaskan Indonesia dari jajahan Jepang. Sehingga Indonesia-AS sebetulnya sejak awal sudah memiliki modal yang kuat untuk membangun sebuah ikatan atau bonding.
Tetapi jika kita cermati, hubungan Indonesia-AS tidak bisa berkembang terlalu jauh karena Indonesia terlanjur memasang penghalang. Bentuk penghalang itu berupa nasionalisme, yang tidak terlihat namun sangat kuat resistensinya. Sehingga kalau mau, penghalang itu harus disingkirkan.
Para tokoh pejuang terdahulu selalu menyatakan kemerdekaan Indonesia diperoleh melalui nasionalisme yang tinggi. Pengorbanan jiwa dan raga merupakan bagian dari nasionalisme. Dengan nasionalisme yang kuat, sekalipun hanya bersenjatakan bambu runcing, pejuang Indonesia mampu mengusir penjajah.
Ada benarnya. Namun ada faktor lain yaitu peristiwa koinsidental berupa kekalahan Jepang atas AS dalam Perang Pasifik. Dimana Jepang harus angkat kaki dari seluruh Asia, sebagai prasyarat AS untuk tidak menjatuhkan bom atom lebih banyak lagi di kota-kota Jepang. Sehingga Jepang ketika itu menjadi lemah.
Karena adanya penonjolan nasionalisme secara berlebihan, ketika AS ingin berperan besar di Indonesia, kita pun berusaha menekannya. Kita melihat AS sebagai mahluk penjajah dalam wajah baru. AS misalnya ingin membangun pangkalan militer di Indonesia. Kita pun melihat hal tersebut mengurangi kedaulatan bangsa. Kita berdalih, sebagai negara netral, non blok pangkalan AS, Blok Barat, tidak dimungkinkan hadir di Indinesia.
AS yang sistem ekonominya mengikuti pola negara-negara kapitalis, kita tempatkan sebagai negara penjajah. Kekhawatiran atas kemungkinan kembalinya penjajah dalam bentuk ekonomi dan investasi yang direpresentasikan oleh AS, kita besar-besarkan.
Kita tolak AS, namun kita terima segala bentuk penjajahan baru oleh Jepang melalui mobil sepeda motor, mall, budaya makan, olahraga karate dan terakhir karaoke. Nasionalisme kita menghadapi Jepang, tiba-tiba hilang.
Kita tidak sadar, kebijaksanaan dalam berbagai bidang, menjadi serba tanggung, rancu. Bagaikan gadis cantik, kita terlalu selektif di dalam memilih pria yang ingin mendekat.
Di era Orde Baru, Soeharto merekrut para pembantunya dengan latar belakang pendidikan paling banyak berasal dari AS. Tetapi untuk IGGI, forum yang mengatur investasi dan bantuan ke Indonesia, kita percayakan kepada Belanda, yang nota bene sebagai bekas penjajah.
Demikian pula di bidang kerja sama bilateral. Kita justru lebih membuka keran selebar-lebarnya kepada Jepang ketimbang AS. Kita lupakan luka-luka bekas peninggalan Jepang sebagai penjajah kejam di Indonesia selama 1942 -1945.
Kita besarkan citra AS yang suka menaklukan dunia dengan bom nuklirnya tanpa mengakui negara tersebut, sebetulnya tidak pernah mempersulit apalagi menjadi penjajah Indonesia. Kita tidak pernah berani menjadi negara satelitnya AS. Karena konotasi negara satelit itu, sangat negatif. Bertentangan dengan martabat dan nasionalisme.
Padahal untuk menjadi satelit, terbuka lebar untuk negosiasi. Kita tidak berani melakukan negosiasi dengan AS - berdasarkan konsep win-win solution. Padahal bukan mustahil negara adidaya inipun bersedia menerima dan memberi konsesi. Pejabat kita hanya berani melakukan negosiasi atas kepentingan individu, bukan kepentingan nasional.
Semua pihak mengakui bahwa Indonesia kaya akan sumber daya alam. Tetapi semua kalangan juga sadar sumber daya alam itu hanya mungkin bisa kita ambil dan nikmati, apabila kita memiliki teknologi. Sayangnya yang terakhir ini, tidak kita miliki. Kita tahu yang punya teknologi itu antara lain AS. Lantas mengapa tidak dilakukan negosiasi?
Kalau Jepang saja yang sudah kalah masih mau lebih mengalah dan bahkan menerima didikte, mengapa kita tidak belajar dari Jepang? Kalau kaisar Jepang yang sudah terkenal keksatriannya saja bersedia memberi konsesi, mengapa ‘raja’ Indonesia, tidak ada yang berani? Yang terpenting mengalah untuk menang. Bukan bertahan tapi tidak pernah menang.
http://inilah.com
0 comments:
Post a Comment